twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Piala Dunia 2010 Manusia Versus Teknologi


SAMPAI sekarang untuk ke berapa kalinya kontroversi seputar keputusan wasit kembali terjadi. Gol Frank Lampard yang sudah melewati garis gawang Jerman diabaikan wasit. Beberapa jam kemudian, gol dari Carlos Tevez, yang sebelumnya jelas-jelas berdiri di posisi ”off-side”, malah disahkan wasit.Kinerja wasit pun dikritik. Kurang telitilah, kurang tanggaplah, dan sebagainya. Namun, bagaimanapun, kritik semacam itu rasanya tidak pada tempatnya. Sampai kapan pun, peluang wasit melakukan kesalahan akan tetap ada. Sehebat apa pun wasit dan linesman, setajam apa pun mata mereka, kesalahan tetap akan terulang lagi.
Standar tinggi
Pemilihan wasit yang turun di Piala Dunia 2010 jelas berdasarkan standar sangat tinggi. Penguasaan terhadap detail peraturan sepak bola jelas sudah tidak usah diragukan lagi.

Kebugaran mereka jelas memenuhi syarat sehingga tidak ada alasan wasit kedodoran akibat berlarian ke sana kemari. Bahkan, untuk urusan kebugaran, FIFA menyediakan kamp khusus agar wasit bisa rutin berlatih, menjaga performa fisik.

Namun, wasit tetap manusia. Pengamatan mereka bisa salah, penilaian mereka juga bisa keliru. Standar yang tinggi tetap tidak bisa menjamin wasit bebas dari kesalahan. Kekeliruan dalam mengambil keputusan sampai kapan pun bisa terjadi.

Oleh karena itu, kontroversi gol Lampard yang diabaikan wasit dan gol Tevez yang off-side tidak meruncing pada perdebatan bagus tidaknya wasit di Piala Dunia. Topik besar perdebatan yang muncul dari kontroversi tersebut adalah perlu tidaknya FIFA mengadopsi kemajuan teknologi untuk membantu wasit mengambil keputusan.

Isu pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu wasit adalah barang lama. Dan sejak lama pula FIFA menegaskan penolakan mereka terhadap teknologi.

FIFA menolak penggunaan tayangan ulang video. Wasit sama sekali dilarang mengambil keputusan berdasarkan rekaman video. Tidak mengherankan, meski tayangan ulang di layar raksasa di stadion memperlihatkan Tevez off-side, wasit tetap menyatakan gol pemain Argentina ini sah. Wasit tidak mau dianggap mengambil keputusan berdasarkan rekaman video.

Untuk membantu tugas wasit, pernah ada usulan agar bola dipasangi cip khusus. Posisi bola pun dapat terdeteksi dengan lebih teliti. Tidak ada lagi keraguan apakah bola sudah melewati garis gawang atau belum.

”Biarkan sepak bola seperti adanya. Biarkan sepak bola tetap dengan kesalahan-kesalahannya,” ujar Presiden FIFA Sepp Blatter saat merespons usulan penggunaan rekaman video dan teknologi garis gawang pada 2008.

Cabang lain
Penggunaan teknologi canggih diterapkan cabang tenis sejak beberapa tahun lalu. Hawk-eye memungkinkan diperoleh kepastian masuk tidaknya bola. Hawk-eye memanfaatkan kecanggihan komputer membuat visualisasi terhadap perjalanan bola.

Petenis yang tidak menyetujui keputusan hakim garis bisa melakukan challenge. Visualisasi jatuhnya bola pun ditayangkan di layar. Keputusan hakim garis diuji lewat tayangan ini.

Hanya Grand Slam Perancis Terbuka yang tidak menggunakan hawk-eye. Alasannya, lapangan tanah liat memungkinkan siapa pun untuk menemukan jejak jatuhnya bola. Di luar teknologi hawk-eye, ada teknologi rekaman video. Bola basket, hoki es, hoki lapangan, kriket, dan rugbi memperbolehkan pemanfaatan teknologi ini.

Sepak bola bukannya tidak tertarik dengan teknologi. Uji coba teknologi garis gawang dan cip dilakukan pada 2007. Namun, setahun kemudian, Blatter menolak teknologi.

Uji coba pun dihentikan. Ofisial tambahan yang bertugas di dekat gawang diperkenalkan di Liga Europa. Namun, belakangan terbukti, penambahan ofisial itu tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan dalam membuat keputusan.

Blatter menolak hawk-eye dengan alasan biaya yang mahal. Namun, setelah didesak terus, ia akhirnya mengajukan argumen mendasar. Sepak bola adalah permainan manusia sehingga biar wasit, yang adalah manusia, menjadi penentu akhir.

Argumen Blatter ini memunculkan pertanyaan, apa sebenarnya esensi sepak bola? Permainan steril yang bebas dari error wasit? Atau, seperti dipahami Blatter, sepak bola adalah permainan manusiawi. Kesalahan wasit menjadi bagian dari permainan, yang malah memperkaya sepak bola.

Drama, tragedi, dan misteri dalam sepak bola, menurut Blatter, mungkin akan hilang dengan hadirnya hawk-eye, cip, dan rekaman video. Padahal, misteri dan tragedi inilah yang membuat sepak bola menjadi menarik.

Namun, kontroversi gol Lampard dan Tevez membuat Blatter berpikir ulang mengenai sikapnya. ”Setelah kejadian itu, omong kosong jika tidak membuka kembali diskusi teknologi,” katanya. Namun, ia tetap menolak penggunaan rekaman video atau hawk-eye. Blatter hanya membuka kemungkinan penggunaan teknologi garis gawang.

Oleh karena itu, kasus gol Tevez bisa terulang pada masa mendatang. Off-side atau tidak, menurut Blatter, selamanya hanya bisa ditentukan oleh wasit, bukan oleh rekaman video. ”Sepak bola adalah olahraga yang tidak pernah berhenti. Akankah kita memberi kesempatan kepada tim untuk meminta replay satu atau dua kali seperti dalam tenis?” kata Blatter.

Kontroversi tampaknya akan terus terjadi. Namun, kontroversi itu sebenarnya bukan sekadar off-side atau tidak off-side, gol atau tidak gol. Lebih dari itu, kontroversi berkutat pada pertanyaan: mana yang dipilih, manusia atau teknologi? (A Tomy Trinugroho)




Editor: acandra
Sumber : Kompas Cetak

0 komentar:

Posting Komentar